Sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:
1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.
2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]
3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makhruh). [5]
[1] Adapun hadits yang menyebutkan perintah untuk berpuasa setelahnya (11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits tersebut berbunyi:
صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما و بعده يوما . –
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’ hadits no. 3506)
tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arna’uth.
لئن بقيت لآمرن بصيام يوم قبله أو يوم بعده . يوم عاشوراء) .-
“Kalau aku masih hidup niscaya aku perintahkan puasa sehari sebelumnya (hari Asyura) atau sehari sesudahnya” ((HR. Al Baihaqy, Berkata Al Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz lengkap tersebut.))
[2] Padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penetapan waktu pada umat terdahulu pun menggunakan bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des). Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hari ke sepuluh dari Muharram adalah hari di mana Allah membinasakan Fir’aun dan pengikutnya dan menyelamatkan Musa dan pengikutnya. (Syarhul Mumthi’ VI.)
[3] Untuk puasa di hari kesebelas haditsnya adalah dha’if (lihat no. 1) maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari ke 9 bersama hari ke 10 (ini yang afdhal) atau ke 10 saja.
Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly mengatakan bahwa, “Sebagian ahlu ilmu berpendapat bahwa menyelisihi orang Yahudi terjadi dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,
صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما .
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”.
Ini adalah pendapat yang lemah, karena bersandar dengan hadits yang lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat Ibnu Abi Laila dan ia adalah jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin II/385. cet. IV. Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)
[4] (lihat no. 3)
[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
والراجح أنه لا يكره إفراد عاشوراء.
Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura saja. (Syarhul Mumthi’ VI)
Wallaahu a’lam.